Makalah : NU dan Muhammadiyah dalam Politik

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

            Nahdlatul Ulama (NU) menganut paham Ahlussunah Wal Jama’ah, sebuah pola pikir yang mengambil jalan tengah antara ekstrim aqli (rasionalis) dengan kaum ekstrim naqli (skripturalis). Karena itu sumber pemikiran bagi NU tidak hanya Al-Qur’an, Sunnah, tetapi juga menggunakan kemampuan akal ditambah dengan realitas empirik. Cara berpikir semacam itu dirujuk dari pemikir terdahulu, seperti Abu Hasan Al-Asy’ari dan Abu Mansur Al-Maturidi dalam bidang teologi. Kemudian dalam bidang fikih mengikuti empat madzhab; Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali. Sementara dalam bidang tasawuf, mengembangkan metode Al-Ghazali dan Junaid Al-Baghdadi, yang mengintegrasikan antara tasawuf dengan syariat. Gagasan kembali ke khittah pada tahun 1984, merupakan momentum penting untuk menafsirkan kembali ajaran Ahlussunnah Wal Jamaah, serta merumuskan kembali metode berpikir, baik dalam bidang fikih maupun sosial. Serta merumuskan kembali hubungan NU dengan negara. Gerakan tersebut berhasil membangkitkan kembali gairah pemikiran dan dinamika sosial dalam NU.[1]

            Ciri ke tiga yang melekat pada Persyarikatan Muhammadiyah adalah sebagai Gerakan Tajdid atau Gerakan Reformasi. Muhammadiyah sejak semula menempatkan diri sebagai salah satu organisasi yang berkhidmat menyebarluaskan ajaran Agama Islam sebagaimana yang tercantum dalam Alquran dan Assunah, sekaligus memebersihkan berbagai amalan umat yang terang-trangan menyimpang dari ajaran Islam, baik berupa khurafat, syirik, maupun bid’ah lewat gerakan dakwah. Muhammadiyah sebagai salah satu mata rantai dari gerakan tajdid yang diawali oleh ulama besar Ibnu Taimiyah sudah barang tentu ada kesamaaan nafas, yaitu memerangi secara total berbagai penyimpangan ajaran Islam seperti syirik, khurafat, bid’ah dan tajdid, sbab semua itu merupakan benalu yang dapat merusak akidah dan ibadah seseorang.[2]BAB II

PEMBAHASAN

  1. NU dan POLITIK

            NU memang ditakdirkan tidak berjodoh dalam urusan politik. Semenjak memenangkan perolehan suara empat besar dalam pemilu 1955  dan menjadi tiga besar dalam pemilu 1971, maka pada fase berikutnya nasib jelek selalu menaungi NU dalam perhelatan politik. Bahkan yang tragis adalah ketika dipecundangi oleh J. Naro dkk dalam sejarah perkembangan PPP.

            Pasca kembali ke khittah 1926, tahun 1984, maka NU memang dapat bermain secara efektif di dalam pemberdayaan masyarakat, baik di bidang pendidikan, ekonomi dan kesehatan. Banyak NGO yang berdiri dari inspirasi warga Nahdliyin. Mereka melakukan kolaborasi dengan berbagai badan nasional maupun internasional untuk kepentingan pengembangan masyarakat. Bahkan NU juga dilabel sebagai organisasi yang mengembangkan civil society. Godaan politik praktis dapat ditepis dari pusaran NU.  Namun demikian, romantisme politik  bergaung kembali pasca reformasi. Bahkan lewat PKB NU berhasil mengusung kader terbaiknya, Gus Dur sebagai Presiden. Hanya sayangnya bahwa realitas politik selalu berbicara lain, Gus Dur terpental dari tampuk kepemimpinan negara dan PKB pun kemudian terjebak dalam pertikaian internal yang tak kunjung reda.  Bahkan hingga dewasa ini.

            Sebagai organisasi besar,  NU memang selalu berada di dalam tarikan-tarikan kepentingan politik baik dari kadernya sendiri maupun orang luar. NU memang secara kultural adalah sebagai organisasi besar. Jumlah pengikutnya mencapai puluhan juta orang. NU juga secara kultural membawahi institusi pesantren yang jumlahnya mendekati angka 15.000 buah tersebar di seluruh Nusantara. Banyaknya institusi kultural di bawah NU kerap membuat NU sebagai organisasi struktural bergerak tertatih-tatih. Ibarat rumah besar, maka rumah itu banyak sekali pintunya. Sehingga orang bisa keluar masuk dari pintu mana saja. Kamarnya juga banyak  dan masing-masing kamar itu memiliki penghuni dengan irama kehidupan sendiri-sendiri. Maka seandainya suatu ketika dibuat sebuah orkhestra di rumah besar itu dan ditunjuklah seorang dirijen, maka dirijen itu akan sangat kesulitan karena masing-masing memiliki kecenderungan irama lagu yang berbeda bahkan gerakan dan tarian  yang berbeda-beda.

            Jika di dalam orkhestra itu kekuatannya adalah kebersamaan dan harmoni, maka di dalam rumah NU itu justru keragaman yang menjadi cirinya. Akibatnya, masing-masing penghuni rumah dapat melakukan aktivitasnya sendiri-sendiri selama berada di dalam koridor besar kultur NU. Identitasnya terbangun dari dunia kultur dan bukan struktur.  Makanya, hampir tidak didapati sebuah sistem besar (grand system) yang mengatur mekanisme NU sebagai organisasi struktural ketika berhadapan dengan kultur NU yang demikian plural dan terbuka. Jika rumah besar dengan berbagai macam pintu dan kamarnya tersebut dikaitkan dengan fenomena politik, maka sahlah kiranya jika sangat sulit untuk menyatukan atau meminalisasikan differensiasi kepentingan dari elit-elit NU. Makanya, di dalam perhelatan politik selalu dijumpai banyaknya elit NU yang bertarung sendiri. Banyak pintu masuk yang dapat digunakan untuk lewat. Jika tidak lewat struktur NU maka bisa lewat pintu kultur NU. Dan semuanya akan memperoleh dukungan masing-masing. Tradisi ini tentunya juga terkait dengan tindakan paternalitas kaum Nahdliyin yang memiliki diversifikasi kepatuhan yang semi tertutup. Katakanlah bahwa jika sudah patuh kepada seorang kyai, maka menutup kemungkinan pengalihan kepada kyai lainnya. Memang terdapat perubahan kepatuhan, namun secara umum masih belum signifikan. Fenomena pilkada dapat menjelaskan relasi antara kepatuhan politik pada kyai dan perilaku pilihan politik massa tersebut.

            NU memang secara politik termasuk kurang beruntung. Jika digunakan Jawa Timur sebagai basis NU, maka justru di wilayah ini NU belum mampu menempatkan kader-kadernya untuk jabatan politik, seperti bupati/wakil bupati dan wali kota/wawali kota. Dan yang sesungguhnya merisaukan adalah karena kekalahan tersebut disebabkan oleh pudarnya soliditas warga NU dalam kompetisi politik.  Di beberapa daerah terjadi pertarungan sesama elit NU. Mereka menggunakan kendaraan bervariasi. Mereka masuk lewat pintu berbeda. Dan ternyata variasi pintu masuk tersebut juga memperoleh dukungan dari elit-elit NU. Terdiferensiasinya suara warga NU tersebut kemudian bisa dimanfaatkan secara jitu oleh kompetitor politiknya.[3]

  1. 2.      Muhammadiyah dan Politik

            Secara organisasional Muhammadiyah memang menyatakan dirinya sebagai tidak memiliki afiliasi politik dengan partai politik manapun, tidak berpolitik praktis, dan membebaskan warganya untuk memilih dalam pemilihan umum (baik pemilu legislatif, pemilu presiden, dan pemilukada).      Pemilihan umum tahun 2004 telah menjadi sebuah pengalaman politik tersendiri bagi Muhammadiyah. Ada banyak hikmah politik yang dapat dipelajari oleh Muhammadiyah, di luar konteks apa hasil dari eksperimen politik Muhammadiyah dalam pemilu 2004 ini, telah banyak cerita yang terlahir, ada yang kecewa, ada yang biasa-biasa saja dan ada yang tetap tak peduli. Memang begitulah muhammadiyah selalu kaya warna. Pemuda Muhammadiyah (PM) khususnya dan Angkatan Muda Muhammadiyah (AMM) umumnya bisa jadi mejadi pihak yang kecewa dengan proses dan hasil pemilu 2004. Hal ini coba dipararelkan dengan keadaan ketiadaan tangan politik Muhammadiyah yang dengan konsisten memperjuangkan aspirasi politik Muhammadiyah, maka kemudian Tanwir Pemuda Muhammadiyah  di Banjarbaru Kalimantas Selatan memutuskan untuk mencoba membentuk partai politik alternative bagi anggota persyarikatan Muhammadiyah.

            Bila dilihat dari kacamata historis garis perjuangan Muhammadiyah sedari lahir adalah sebagai gerakan agama dengan tekanan besar sebagai gerakan social. Meski demikian Muhammadiyah bukanlah gerakan yang alergi dengan aktivitas politik baik yang bersifat low politics dalam bentuk struggle of power atau juga yang bersifat high politics dalam bentuk pejuangan politik yang berorientasi pada tujuan-tujuan moral (Syafii Maarif; 200). Dalam konteks struggle of power menurut Haedar Nashir (2000) ada tiga pola perjuangan politik Muhammadiyah; pertama, adalah secara langsung membidani kelahiran partai-partai politik, dalam pola ini Muhammadiyah secara kelembagaan ikut serta secara aktif dalam membidani kelahiran partai politik dan juga menggerakkan roda partai politik. Hal ini pernah terjadi ketika mas kepemimpinan KH. Mas Mansyur, ketika Muhammadiyah menjadi anggota istimewa Majelis Syuro Muslim Indonesia (Masyumi), begitu juga ketika Muhammadiyah ikut membidani kelahiran Partai Muslim Indonesia (Parmusi). Pola kedua, adalah keterlibatan secara personal dari tokoh-tokoh Muhammadiyah, hubungan yang terbangun adalah hubungan emosional. Pola kedua ini yang paling sering terjadi dalam persyarikatan Muhammadiyah, mulai dari generasi awal Muhammadiyah yang terlibat aktif di MIAI, PII dan sebagainya sampai masa Amien Rais, yang telah mengokohkan hubungan emosional antara warga Muhammadiyah dengan Partai Amanat nasional PAN. Pola ketiga, adalah hubungan yang betul-betul netral, dimana semua unsure persyarikatan harus menjaga jarak yang sama dengan kelompok-kelompok kepentingan politik yang ada. Pola ketiga in muncul dalam Muktamar Muhammadiyah tahun 1971 di Ujung Pandang.

            Ketiga pola di atas sesungguhnya bisa dijadikan pijakan awal untuk memetakan seperti apa politik muhammadiyah dalam pandangan warga persyarikatan. Kelompok yang berusaha menjaga jarak sedemikian rupa dengan proses low politics ini kemudian mengentitas dalam kelompok Muhammadiyah cultural, yang di dalamnnya bercokol tokoh-tokoh intelektual dan budayawan Muhammadiyah, Kelompok ini melihat Muhammadiyah akan kehilangan vitalitasnya dalam peran social kemasyarakatan jika harus memaksakan diri untuk melakukan struggle of power. Kelompok kedua merupakan kelompok yang berusaha mencari jalan tengah, yaitu kelompok yang merasa Muhammadiyah  sangat perlu memiliki saluran aspirasi politik, tapi tidak dengan serta merta menempatkan Muhammadiyah terikat dengan satu atau beberapa kelompok kepentingan. Kelompok inilah yang kemudian menganggap aspirasi politik Muhammadiyah bisa disalurkan melalui kader-kadernya yang ada di partai-partia politik. Kelompok yang ketiga adalah kelompok yang menginginkan Muhammadiyah aktif melakukan perjuangan politik pada tingkat low politics untuk kepentingan mewujudkan aspirasi politik persyarikatan. Kelompok ketiga ini beranggapan Muhammadiyah akan sulit merealisasikan aspirasi politik jika hanya mengandalkan hubungan emosional dengan partai politik, Muhammadiyah harus berani membentuk partia politik.

            Arah politik Muhammadiyah akan sangat dipengaruhi oleh tiga kelompok pemikiran di atas di dalam tubuh Muhammadiyah. Hasil tanwir Pemuda Muhammadiyah di Banjarbaru beberapa waktu yang lalu sebenarnya sangat mengejutkan, karena secara pelan namun pasti kelompok muda muhammadiyah yang direpresentasikan oleh pemuda muhammadiyah mulai mengentitas dalam kelompok ketiga di atas, karena pemikiran ini lahir dari kelompok muda yang dalam sejarah Muhammadiyah justru selalu berusaha menjaga jarak dengan kepentingan politik praktis.[4]

BAB III

PENUTUP

Simpulan

            Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) merupakan dua organisasi massa Islam yang terbesar dan tertua di Indonesia. Muhammadiyah (berdiri pada 1912) dan NU (berdiri pada 1926) pada awalnya didirikan untuk lebih fokus pada persoalan-persoalan kehidupan sosial-keagamaan para anggotanya. Akan tetapi, sejarah perjalanan dua organisasi ini berkata beda. Semenjak teks proklamasi diproklamirkan oleh Ir. Sukarno, kinerja dua organisasi ini seakan beralih pada dunia politik, bahkan NU sempat memutuskan untuk menjadi partai politik pada era Orde Lama.

            Setelah era Reformasi dimulai, banyak para tokoh penting dari Muhammadiyah dan NU berbondong-bondong memasuki dunia politik. Bukan hanya itu, pada era ini sebagian besar tokoh dari dua organisasi ini bahkan juga mendorong untuk dibentuknya partai politik yang menjadi representasi dari organisasi massa Islam yang mereka anut. Oleh sebab itu, lahirlah Partai Amanat Nasional (PAN) sebagai akibat dari dorongan para tokoh Muhammadiyah dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) sebagai akibat dari dorongan para tokoh NU.

            Pemilu pasca runtuhnya rezim Orde Baru diikuti oleh banyak partai politik termasuk partai-partai yang berafilasi dengan Muhammadiyah dan NU. Hal itu menimbulkan persepsi negatif terhadap kedua organisasi tersebut. Seringkali jumlah perolehan suara dari pertai-partai ini, baik dalam pemilu legislatif maupun presiden, dianggap sebagai representasi dari jumlah pengikut kedua organisasi tersebut. Ini tentu saja tidak bisa dianggap benar. Pasalnya, loyalitas para anggota Muhammadiyah dan NU pada partai-partai yang berafilasi dengan keduanya tidak sekuat loyalitas mereka kepada organisasi social-keagamaan yang mereka anut. Selain itu, Muhammadiyah dan NU juga memberi kelonggaran terhadap anggotanya dalam menentukan pilihan politiknya. Banyak bahkan mencapai angka puluhan juta orang anggota dari kedua organisasi tersebut tidak menyumbangkan hak pilihnya kepada PAN maupun PKB.

DAFTAR PUSTAKA.

                http://www.nu.or.id/a,public-m,static-s,detail-lang,id-ids,1-id,7-t,paham+keagamaan-                    .phpx

            http://www.muhammadiyah.or.id/id/content-176-det-ciri-perjuangan.html

            http://nursyam.sunan-ampel.ac.id/?p=864

            http://caterpillar.blogdrive.com/archive/4.html

2 tanggapan untuk “Makalah : NU dan Muhammadiyah dalam Politik”

Silahkan komentar..